“Think positive, be positive!”
Begitulah kalimat yang sering kita
dengar sehari-hari, baik berupa bisikan dari dalam diri, ataupun dari orang
lain yang berusaha memotivasi.
Positive thinking telah menjadi
sebuah konsep yang sangat populer dalam bahasan mengenai pengembangan diri.
Berbagai buku, seminar, personal coaching, hingga postingan orang-orang di
media sosial seringkali mengingatkan kita untuk terus berfikir positif. Banyak
orang mengira bahwa positive thinking adalah suatu pendekatan yang paling ideal
dalam menyikapi berbagai permasalahan. Sayangnya dalam banyak kasus, pikiran
dan ucapan positif bukanlah cara yang tepat, namun justru dapat menjadi racun
bagi diri sendiri maupun orang lain. Bahkan penelitian mengenai positive
thinking yang dilakukan selama bertahun-tahun oleh Gabriele Oettingen, profesor
di bidang psikologi dari New York University, menyimpulkan bahwa positive
thinking dapat memicu pikiran dan tindakan seseorang menjadi lebih kontraproduktif.
Dalam konteks yang lebih luas, sebuah
artikel dari Susan David dan Christina Congleton yang termuat dalam Harvard
Business Review pada tahun 2013 mengungkap bahwa dari pengalamannya menjadi
konsultan bagi banyak perusahaan dan organisasi di seluruh dunia, sebagian
besar permasalahan pada anggota organisasi bukan timbul dari pikiran negatif,
akan tetapi justru timbul dari pikiran-pikiran yang terus berusaha mengantisipasi,
dan menghabiskan waktu untuk memperbaiki pikiran negatif. Hal ini bukan hal
yang tepat. Mereka menawarkan sebuah solusi yang lebih ideal yang dikenal
sebagai Emotional Agility.
Alih-alih menggunakan pendekatan
positive thinking yang memaksa kita untuk menjadi optimistis dan bahagia setiap
saat tanpa pengecualian, pendekatan Emotional Agility lebih menekankan pada
bagaimana kita mengembangkan kemampuan untuk dapat lebih lebih mengakui,
menyadari dan menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam pikiran dan
emosi yang muncul akibat berbagai stimulasi kejadian di luar, tanpa dikendalikan
olehnya.
Terdapat sebuah kutipan bijak
yang cukup terkenal :
“When life gives you a lemon,
make lemonade.”
Lemon dalam kutipan tersebut
merupakan penggambaran dari hal buruk yang mau tidak mau kita terima sebagai
bagian dari takdir, dan hal tersebut harus kita sikapi menjadi sesuatu yang lebih
berarti, dalam hal ini membuat lemon tersebut menjadi lemonade. Sekilas ini
menggambarkan sebuah sikap yang sangat positif dan ideal. Akan tetapi ada hal
yang perlu kita kritisi:
Apakah “lemon” itu benar-benar
hal buruk, atau hanya tanggapan awal dan label yang kita lekatkan padanya?
Apakah “lemon” itu benar-benar
hal buruk, sehingga tidak ada pilihan lain selain mengolahnya menjadi lemonade
?
Apakah kita benar-benar harus
melalui fase ini? Menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran kita untuk mebuat
sebuah lemon menjadi lemonade.
Merepotkan sekali.
Sejak kecil kita terbiasa untuk
melabeli segala hal yang terjadi sebagai “baik” dan “buruk”, “positif” dan “negatif”.
Kebanyakan kita menggunakan label “buruk” jauh lebih sering dibanding label
“baik” yang kemudian kita lekatkan pada apa yang terjadi. Dan ketika kita telah
melekatkan label buruk pada suatu hal, secara kebetulan atau tidak, justru kita
semakin sering mengalaminya. Dari situlah kita menjadi semakin sering
membutuhkan positive thinking untuk menyikapinya. Upaya positive thinking
digambarkan dengan usaha untuk mengubah lemon tadi menjadi lemonade. Pada
akhirnya, waktu, tenaga, dan pikiran kita akan terus terkuras untuk melakukan
proses ini terus menerus.
Oliver Burkeman dalam bukunya
yang berjudul “The Antidote: Happiness for People Who Can’t Stand Positive
Thinking”, menyebut bahwa dalam menyikapi berbagai persoalan, upaya yang terus
menerus kita lakukan untuk mengantisipasi dan melawan kejadian-kejadian yang
kita anggap buruk adalah hal yang justru membuat seseorang menjadi insecure,
cemas, dan tidak bahagia, serta memicu seseorang untuk mencari upaya alternatif
yang negatif atau menghabiskan waktu dan tenaganya dengan hal-hal yang tidak
efektif dalam memperoleh kebahagiaan.
Mulai saat ini, cobalah untuk
memandang segala hal yang terjadi tanpa memberi label apapun padanya. Bagi
sebagian orang pasti sulit, tapi bukan hal yang mustahil bagi kita untuk
merubah kebiasaan yang telah kita biasa kita lakukan sejak lama. Kita benar-benar
bisa hidup tanpa label baik dan buruk pada setiap hal yang terjadi. Berhentilah
memberi label, dan anda tidak akan lagi membutuhkan positive thinking dalam
menyikapi berbagai persoalan dalam hidup ini.
Burkeman, O. (2013). The Antidote: Happiness for
People Who Can't Stand Positive Thinking. Farrar, Straus and Giroux.
Congleton, S. D. (2013, November). Emotional
Agility. Retrieved from Harvard Business Review: https://hbr.org/2013/11/emotional-agility
Oettingen, G. (2016, July 25). Don't Think Too
Positive. Retrieved from Aeon:
https://aeon.co/essays/thinking-positive-is-a-surprisingly-risky-manoeuvre