Monday, March 25, 2019

Stop Positive Thinking

Think positive, be positive!” 
Begitulah kalimat yang sering kita dengar sehari-hari, baik berupa bisikan dari dalam diri, ataupun dari orang lain yang berusaha memotivasi.

Positive thinking telah menjadi sebuah konsep yang sangat populer dalam bahasan mengenai pengembangan diri. Berbagai buku, seminar, personal coaching, hingga postingan orang-orang di media sosial seringkali mengingatkan kita untuk terus berfikir positif. Banyak orang mengira bahwa positive thinking adalah suatu pendekatan yang paling ideal dalam menyikapi berbagai permasalahan. Sayangnya dalam banyak kasus, pikiran dan ucapan positif bukanlah cara yang tepat, namun justru dapat menjadi racun bagi diri sendiri maupun orang lain. Bahkan penelitian mengenai positive thinking yang dilakukan selama bertahun-tahun oleh Gabriele Oettingen, profesor di bidang psikologi dari New York University, menyimpulkan bahwa positive thinking dapat memicu pikiran dan tindakan seseorang menjadi lebih kontraproduktif.

Dalam konteks yang lebih luas, sebuah artikel dari Susan David dan Christina Congleton yang termuat dalam Harvard Business Review pada tahun 2013 mengungkap bahwa dari pengalamannya menjadi konsultan bagi banyak perusahaan dan organisasi di seluruh dunia, sebagian besar permasalahan pada anggota organisasi bukan timbul dari pikiran negatif, akan tetapi justru timbul dari pikiran-pikiran yang terus berusaha mengantisipasi, dan menghabiskan waktu untuk memperbaiki pikiran negatif. Hal ini bukan hal yang tepat. Mereka menawarkan sebuah solusi yang lebih ideal yang dikenal sebagai Emotional Agility.

Alih-alih menggunakan pendekatan positive thinking yang memaksa kita untuk menjadi optimistis dan bahagia setiap saat tanpa pengecualian, pendekatan Emotional Agility lebih menekankan pada bagaimana kita mengembangkan kemampuan untuk dapat lebih lebih mengakui, menyadari dan menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam pikiran dan emosi yang muncul akibat berbagai stimulasi kejadian di luar, tanpa dikendalikan olehnya.

Terdapat sebuah kutipan bijak yang cukup terkenal :
When life gives you a lemon, make lemonade.”

Lemon dalam kutipan tersebut merupakan penggambaran dari hal buruk yang mau tidak mau kita terima sebagai bagian dari takdir, dan hal tersebut harus kita sikapi menjadi sesuatu yang lebih berarti, dalam hal ini membuat lemon tersebut menjadi lemonade. Sekilas ini menggambarkan sebuah sikap yang sangat positif dan ideal. Akan tetapi ada hal yang perlu kita kritisi:

Apakah “lemon” itu benar-benar hal buruk, atau hanya tanggapan awal dan label yang kita lekatkan padanya?

Apakah “lemon” itu benar-benar hal buruk, sehingga tidak ada pilihan lain selain mengolahnya menjadi lemonade ?

Apakah kita benar-benar harus melalui fase ini? Menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran kita untuk mebuat sebuah lemon menjadi lemonade.

Merepotkan sekali.

Sejak kecil kita terbiasa untuk melabeli segala hal yang terjadi sebagai “baik” dan “buruk”, “positif” dan “negatif”. Kebanyakan kita menggunakan label “buruk” jauh lebih sering dibanding label “baik” yang kemudian kita lekatkan pada apa yang terjadi. Dan ketika kita telah melekatkan label buruk pada suatu hal, secara kebetulan atau tidak, justru kita semakin sering mengalaminya. Dari situlah kita menjadi semakin sering membutuhkan positive thinking untuk menyikapinya. Upaya positive thinking digambarkan dengan usaha untuk mengubah lemon tadi menjadi lemonade. Pada akhirnya, waktu, tenaga, dan pikiran kita akan terus terkuras untuk melakukan proses ini terus menerus.

Oliver Burkeman dalam bukunya yang berjudul “The Antidote: Happiness for People Who Can’t Stand Positive Thinking”, menyebut bahwa dalam menyikapi berbagai persoalan, upaya yang terus menerus kita lakukan untuk mengantisipasi dan melawan kejadian-kejadian yang kita anggap buruk adalah hal yang justru membuat seseorang menjadi insecure, cemas, dan tidak bahagia, serta memicu seseorang untuk mencari upaya alternatif yang negatif atau menghabiskan waktu dan tenaganya dengan hal-hal yang tidak efektif dalam memperoleh kebahagiaan.

Mulai saat ini, cobalah untuk memandang segala hal yang terjadi tanpa memberi label apapun padanya. Bagi sebagian orang pasti sulit, tapi bukan hal yang mustahil bagi kita untuk merubah kebiasaan yang telah kita biasa kita lakukan sejak lama. Kita benar-benar bisa hidup tanpa label baik dan buruk pada setiap hal yang terjadi. Berhentilah memberi label, dan anda tidak akan lagi membutuhkan positive thinking dalam menyikapi berbagai persoalan dalam hidup ini.

Sumber :

Burkeman, O. (2013). The Antidote: Happiness for People Who Can't Stand Positive Thinking. Farrar, Straus and Giroux.

Congleton, S. D. (2013, November). Emotional Agility. Retrieved from Harvard Business Review: https://hbr.org/2013/11/emotional-agility

Oettingen, G. (2016, July 25). Don't Think Too Positive. Retrieved from Aeon: https://aeon.co/essays/thinking-positive-is-a-surprisingly-risky-manoeuvre

Stop Positive Thinking

“ Think positive, be positive! ”  Begitulah kalimat yang sering kita dengar sehari-hari, baik berupa bisikan dari dalam diri, ataupun dar...